Menu

Mode Gelap
Danrem 052/Wijayakrama Kunjungi Kodim 0502/Jakarta Utara, Tekankan Pentingnya Tugas, Keluarga, dan Kedekatan dengan Rakyat Kodim 0505/JT dan Komduk Gelar Patroli/Siskamling di Ciracas Munas V IPJI Resmi Dibuka, Hendardji Soepandji Tekankan Pentingnya Karya Jurnalistik yang Bermartabat Wadan Kodaeral I Terima Kunjungan Audiensi Tim Bakamla RI Danlanal Sabang Hadiri Pembukaan Latihan Penyusunan Rentinkon Kotama Operasi TNI Pasis Sesko TNI Tahun 2025 Ronda Bersama; Wujud Kebersamaan TNI-Polri dan Masyarakat

Jejak Kasus

Diduga Kasus Yang Jerat Pengusaha Asal Aceh Faisal bin Hartono Ada Keterlibatan Mafia Hukum

badge-check


Diduga Kasus Yang Jerat Pengusaha Asal Aceh Faisal bin Hartono Ada Keterlibatan Mafia Hukum Perbesar


Jakarta, Kilas Negeri – Kasus yang menimpa seorang pengusaha asal Aceh, Faisal bin Hartono, benar-benar memperlihatkan wajah gelap penegakan hukum di negeri ini. Bayangkan saja, hanya karena konflik bisnis dengan rekannya, Fadh El Fous bin A Rafiq alias Fadh A Rafiq, Faisal harus menanggung beban enam laporan polisi (LP) sekaligus di Polda Metro Jaya. Ironisnya, keenam LP tersebut hanya berputar-putar pada tuduhan penipuan/penggelapan dan kekerasan seksual, tuduhan klise yang kerap dipakai untuk “menghancurkan lawan.”

Lebih mengejutkan lagi, di balik laporan-laporan itu muncul jejak transaksi haram yang menyeret oknum penyidik. Kompol Anggi Fauzi Arfandi Hasibuan, S.H., yang menangani salah satu laporan Yosita Theresia Manangka, terbukti menerima uang suap Rp300 juta dari Yosita dan Fadh A Rafiq. Fakta ini dibongkar dalam sidang kode etik Propam Polda Metro Jaya beberapa waktu yang lalu. Artinya, tuduhan yang disematkan kepada Faisal sejak awal memang dijahit, dipelintir, dan diperdagangkan.

Nama-nama pelapor juga tidak asing. Ada Yosita Theresia Manangka yang dua kali membuat laporan berbeda terhadap Faisal: pertama soal dugaan penggelapan, lalu tiba-tiba “mengaku korban kekerasan seksual.”
Selanjutnya Rully Indah Sari, kader Partai Golkar, yang mendadak melapor bahwa dirinya dilecehkan Faisal pada 30 Oktober 2022. Celakanya, laporan itu baru muncul tiga tahun kemudian. “Luar biasa edan.!!” demikian komentar spontan dari salah satu praktisi hukum.

Fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Pada tanggal yang dituduhkan, kantor Visitama tempat lokasi kejadian versi Rully, sedang tutup karena libur Minggu. Faisal sendiri berada di acara keluarga, sementara “saksi kunci” Fadh A Rafiq sedang berada di Pekanbaru menghadiri pelantikan Bapera Riau. Bagaimana mungkin bisa menjadi saksi dari tempat yang berbeda.
Hal ini menjelaskan bagaimana mafia hukum mengemas kepentingan pribadi sebagai komoditas hukum

Menghadapi tuduhan tuduhan jahat yang direkayasa untuk menzaliminya, akhirnya Faisal didampingi kuasa hukumnya mengadukan kasus ini ke Mabes Polri. Melalui pengacaranya, Dr. Abdul Gofur, S.H., M.H., ia menyerahkan surat setebal tujuh halaman kepada Irwasum Polri, berisi permohonan perlindungan hukum.

“Proses hukum yang dialami klien kami sarat rekayasa dan jauh dari ketentuan hukum. Kami minta dilakukan gelar perkara khusus agar fakta sebenarnya terbongkar,” tegas Gofur.

Pengacara ini juga menegaskan bahwa kriminalisasi terhadap Faisal bukan sekadar persoalan pribadi, melainkan indikasi kuat adanya praktik mafia hukum di tubuh Polda Metro Jaya.

Harapan kami, semoga kasus ini menjadi perhatian Kapolda Metro Jaya yang baru menjabat.
Agar segera bersih- bersih dan membenahi internal Polda Metro Jaya, agar preseden buruk ini tidak sampai merusak citra Kapolda yang selama ini dikenal bersih dan berprestasi” ujarnya

Kemarahan publik pun muncul. Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., M.A., alumni PPRA-48 Lemhannas RI 2012, menilai apa yang terjadi pada Faisal hanyalah puncak gunung es. “Polri sekarang lebih mirip sarang mafia hukum. Warga bisa dipenjarakan hanya karena tidak punya uang atau tidak punya ‘backing’. Polisi mengkriminalisasi orang benar, sementara orang salah dibela habis-habisan,” kecam Wilson, lulusan pascasarjana bidang Applied Ethics di Belanda dan Swedia.

Wilson mendesak Kapolri untuk melakukan bersih-bersih secara besar-besaran. “Oknum aparat yang sudah busuk otak dan jiwanya tidak cukup hanya dipindah atau disanksi ringan. Mereka harus dibinasakan dari institusi Polri,” tegasnya.

Kasus Faisal bukan sekadar perseteruan bisnis yang melebar ke ranah hukum. Ini adalah cermin betapa mudahnya hukum diperjualbelikan di Indonesia. Polda Metro Jaya yang seharusnya menjadi benteng keadilan, justru terancam berubah menjadi “markas mafia hukum” tempat laporan palsu, saksi rekayasa, dan bukti pesanan diproduksi.

Kini, bola ada di tangan Kapolri. Publik menunggu apakah Mabes Polri benar-benar berani menindak aparat nakal yang diduga menjadi perpanjangan tangan cukong-cukong hukum. Bila tidak, citra Polri hanya akan semakin runtuh, dan kepercayaan rakyat habis di meja transaksi uang dan kekuasaan.

Loading


Baca Lainnya

Tersangkut Dugaan Proyek Fiktif Kemenperin

9 Oktober 2025 - 09:14 WIB

MBK Akan Laporkan Edward Parulian Sitorus dan PT Carolina Prima Internasional ke Kejagung RI

8 Oktober 2025 - 17:22 WIB

PBHI Jakarta Dampingi Warga Perumahan Kostrad Hadapi Tuduhan Penyerobotan Tanah di Polres Jaksel

3 Oktober 2025 - 03:35 WIB

Anggota DPRD Wakatobi Bersumpah Tak Pernah Bunuh Wiranto 11 Tahun Lalu

20 September 2025 - 01:04 WIB

Ahli Waris Daam Bin Nasairin dan Kuasa Hukum dari Kantor Advokat Alian Safri, S.H & Partners, Gugat Bina Marga serta Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Pemprov DKI Jakarta Untuk Bayar Ganti Rugi

14 September 2025 - 12:29 WIB

Trending di Jejak Kasus